Beresiko Cacat Formil, PRESISI Minta Revisi Peraturan KPU Dicegah

Dody Zuhdi
0

 



Jakarta - Penstudi Reformasi untuk Demokrasi dan Antikorupsi (PRESISI) meminta Menkopolhukam mencegah Revisi Peraturan KPU yang Beresiko Cacat Formil karena mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi cacat hukum (legal defect). Pernyataan tersebut disampaikan PRESISI melalui surat kepada Menkopolhukam, Kamis (19/10/2023).


"Kami telah bersurat kepada Menkopolhukam menyikapi perihal permohonan syarat calon presiden dan wakil presiden pada pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang telah diputus melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PU-XXI/2023  dengan amar putusan “Syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk memilih kepala daerah”, ujar Direktur PRESISI, Dr. Demas Brian Wicaksono. S.H,M.H kepada wartawan, Jumat (20/10/2023).


PRESISI, kata Demas, menilai putusan tersebut mengalami cacat hukum (legal defect) karena komposisi argumentasi putusan para hakim tidak sesuai dengan putusan menerima permohonan tersebut, dimana komposisi yang dimaknai sebagai berikut: 


Yang mulia Guntur Hamzah, Yang Mulia Anwar Usman, dan Yang Mulia Manahan Sitompul menyatakan bahwa ketiga hakim tersebut setuju bahwa semua “berpengalaman sebagai kepala daerah dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun”. 


Yang mulia Enny Nurbaningsih dan Yang Mulia Daniel Yusmik Pancastaki menyatakan bahwa kedua Hakim tersebut memiliki concurring opinion (pandangan berbeda) menyebutkan “berpengalaman sebagai Gubernur dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun”


Yang Mulia Arief Hidayat, Yang Mulia Suhartoyo, Yang Mulia Saldi Isra, dan Yang Mulia Wahiduddin Adam. Keempat hakim tersebut menyatakan “menolak permohonan” tersebut.


Dilihat dari komposisi pendapat para hakim tersebut ditemukan 3 perbedaan yaitu: 3 hakim setuju frasa “Kepala Daerah”, 2 hakim berbeda pandangan frasa “Gubernur” dan 4 hakim berbeda pendapat dengan “menolak”. Dimana sesungguhnya unsur materiil di dalam concurring opinion (pandangan Berbeda) adalah bagian yang berbeda dengan 3 hakim yang setuju/menerima permohonan, sehingga seharunya keputusan Mahkamah Konstitusi adalah menjadi menolak permohonan pemohon, bukan kemudian menerima permohonan.


Dengan adanya kondisi putusan Mahkamah Konstitusi yang cacat hukum (legal defect), lanjut Demas, PRESISI meminta dan memohon kepada Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P., selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia atas nama Pemerintah menegaskan kepada Komisi Pemilihan Umum agar revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk tidak dilakukan sebelum berkonsultasi dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.


"Kami berharap besar kepada Bapak Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P., sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia untuk memberikan pencerahan hukum atas putusan tersebut," pungkasnya. (Red)


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)